Halaman

Kamis, 14 November 2013

Tafsir bir Ro'yi


                                                                PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
         Melihat perkembangan jaman sekarang yang semakin maju,didukung pemikiran yang semakin berkembang pula ,maka dari itu perlu menggunakan cara yang dapat lebih meyakinkan dan logis,dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Alqur’an.Supaya dapat lebih mudah diterima khususnya orang awam yang belum tahu benar dasar –dasar agama .Oleh karena itu kami memilih judul  untuk makalah kami kali ini disamping ini juga sebagai tugas wajib kami.
B.       Rumusan Masalah

    1. Apakah pengertian tafsir ?
2. Apakah pengertian dan macam-macam tafsir ad dirayah ?
3. Bagaimana pendapat ulama’ tentang tafsir ad dirayah?
PEMBAHASAN

A.      Tafsir
        Pengertian tafsir menurut bahasa menjalaskan dan menerangkan yang berasal dari bahasa arab al fasr,Sedangkan tafsir menurut istilah yang paling cocok adalah yang dikutip oleh As-Suyuthi dari Az-Zarkasyi, “Ia adalah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan merupakan penjelasan makna-makna serta kesimpulan, hikmah dan hukum-hukum. Tafsir itu dibagi menjadi dua yaitu tafsir bil ma’tsur (riwayah) dan tafsir bir ra’yi(dirayah).

B.Tafsir Bir ra’yi (dirayah)

         Yang dimaksud dengan tafsir bi ra’yi adalah menafsirkan ayat Al-qur’an dengan menggunakan rasio atau akal. Penafsiran bil dirayah dimulai setelah berakhir masa salaf sekitar abad ketiga Hijriyah, dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai madzhab dan aliran dikalangan ummat Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka mengembangkan faham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bil dirayah atau tafsir bir ra’yi (tafsir yang melalui pikiran). Tafsir Bi Al Ra’yi menafsirkan Al-Qur’an dengan penalaran dan unsur – unsur keilmuan didunia islam atau dengan kata lain seorang mufassir harus memenuhi kriteria keilmuan, seperti : ( Bahasa Arab, Nahwu, shorof, Balaghoh, usul fiqh, tauhid, asbabun nuzul, sejarah, naasikh mansukh, hadist-hadist penjelas ayat-ayat Al-Qur’an, fakih dan terakhir ilmu pemberian dari Allah SWT). Mereka juga mensyaratkan kebersihan hati dari penyakit kibr, hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia dan senang melakukan dosa. Ini semua adalah yang menghalangi hatinya untuk mencapai pengetahuan yang benar yang diturunkan oleh Allah SWT.
Tafsir Dirayah ini ada dua macam;
1 Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz ( Mahmud)
             2 Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz (Mazmum)

Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz ( Mahmud) yaitu apabila penasfsirannya itu sesuai kaidah yang ada jauh dari segala kebodohan dan kesesatan maka tafsir ini Mahmud,tapi jika sebaliknya tidak sesuai dengan kaidah mendekati kebodohan dan kesesatan ,maka disebut  Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz (Mazmum)

C. Pendapat Ulama’ Tentang Tafsir Ad-dirayah.
     
Meskipun tafsir bi-al-ra’yu berkembang dengan pesat, namun dalam menerimanya para ulama terbagi menjadi dua : ada yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkannya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat ini hanyalah bertentangan dari segi lafzhi saja (Redaksional). Maksdunya kedua pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra’yu (pemikiran) semata (hawa nafsu) tanpa memandang / mengindahkan kaidaj-kaidah dan kriteria-kriteria yang berlaku. Penafsiran inilah yang di haramkan oleh Ibnu Taimiyyah. Sebaliknya, keduanya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mu’tabarat.
Adapun hadist-hadist yang menyatakan bahwa para ulama salaf lebih suka diam daripada menafsirkan Al-Qur’an, sebagaimana ditulis Ibn Taymiyyat : “Mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang (lanjutnya), ia harus diam kalau tidak tahu, dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya. Pendapat Ibn Taymiyyat ini ada benarnya karena didukung oleh Al-Qur’an antara lain terdapat di dalam surat Ali ‘Imran :
لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَتَكْتُمُونَهُ { ســـــورة ءال عمران : 187}
(Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada menusia dan tidak menyembunyikannya)
Dan dipertegas lagi oleh hadist yang shahih dari Ibn ‘umar :
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ بِلِجَامِ مِنَ النَّارِ.
Barang siapa ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu ia diam, maka ia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekang api neraka.
Jadi diamnya ulama salaf dari penafsiran suatu ayat bukan karena tidk mau menafsirkan dan bukan pula karena dilarang menafsirkan, melainkan karena kesanghati-hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut dengan takhmin (perkiraan, spekulasi) dalam menafsirkan Al-Qur’an apabila ini terjadi, ancamannya amat berat : masuk neraka, sebagaimana yang dimaksud oleh hadist riwayat al-Tirmidzi.
Untuk menghindar terjadinya spekulasi dalam penafsiran, maka para ulama tafsir menetapkan sejumlah kaidah dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mufasir serta metode penafsiran yang harus dikuasinya. Secara gamblang metodelogi penafsiran adalah
Jadi jelaslah, secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua jalur, yaitu al-ma’tsur (melalui riwayat) dan al-ra’yu (melalui pemikiran atau ijtihad). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa  ma’tsur dan ra’yi merupakan bentuk atau jenis tafsir, bukan metode atau corak tafsir.
PENUTUP


A. Kesimpulan
         Dari uraian makalah diatas, ada beberapa kesimpulan yang dapat kami ambil yaitu:
-         Tafsir adalah menjelaskan Al-Quran, menerangkan ma’nanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash isyarat atau tujuannya.
 -         Tafsir Bil dirayah yang juga disebut tafsir bir ra’yi ialah tafsir yang pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran melalui ijtihad dengan menggunakan akal pikiran.

B. Daftar Pustaka
              
1. Drs. Rif’at Syouqi Nawawi dan Drs. M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir,      Bulan Bintang, Jakarta 1985
2. Drs. Rosihon Anwar, M.Ag, Ilmu Tafsir, Bandung, Pustaka Setia, 2000,
3. T.M. hasby Ash Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran dan tafsir,      Jogjakarta  1953             


        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar