PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Melihat perkembangan jaman sekarang yang semakin
maju,didukung pemikiran yang semakin berkembang pula ,maka dari itu perlu
menggunakan cara yang dapat lebih meyakinkan dan logis,dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-Alqur’an.Supaya dapat lebih mudah diterima khususnya orang awam
yang belum tahu benar dasar –dasar agama .Oleh karena itu kami memilih judul untuk makalah kami kali ini disamping ini juga
sebagai tugas wajib kami.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian tafsir ?
2.
Apakah pengertian dan macam-macam tafsir ad dirayah ?
3.
Bagaimana pendapat ulama’ tentang tafsir ad dirayah?
PEMBAHASAN
A. Tafsir
Pengertian
tafsir menurut bahasa menjalaskan dan menerangkan yang berasal dari bahasa arab
al fasr,Sedangkan
tafsir menurut istilah yang paling cocok adalah yang dikutip oleh As-Suyuthi
dari Az-Zarkasyi, “Ia adalah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT, yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan merupakan penjelasan makna-makna serta
kesimpulan, hikmah dan hukum-hukum. Tafsir itu dibagi menjadi dua yaitu tafsir
bil ma’tsur (riwayah) dan tafsir bir ra’yi(dirayah).
B.Tafsir Bir ra’yi (dirayah)
Yang dimaksud
dengan tafsir bi ra’yi adalah menafsirkan ayat Al-qur’an dengan menggunakan
rasio atau akal. Penafsiran bil dirayah dimulai setelah
berakhir masa salaf sekitar abad ketiga Hijriyah, dan peradaban Islam semakin
maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai madzhab dan aliran dikalangan ummat
Islam. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan umat dalam rangka
mengembangkan faham mereka. Untuk mencapai maksud itu, mereka mencari ayat-ayat
Al-Quran dan hadits-hadits Nabi lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang
mereka anut. Ketika inilah berkembang apa yang disebut dengan tafsir bil
dirayah atau tafsir bir ra’yi (tafsir yang melalui pikiran). Tafsir Bi Al Ra’yi menafsirkan Al-Qur’an dengan penalaran
dan unsur – unsur keilmuan didunia islam atau dengan kata lain seorang mufassir
harus memenuhi kriteria keilmuan, seperti : ( Bahasa Arab, Nahwu, shorof,
Balaghoh, usul fiqh, tauhid, asbabun nuzul, sejarah, naasikh mansukh,
hadist-hadist penjelas ayat-ayat Al-Qur’an, fakih dan terakhir ilmu pemberian
dari Allah SWT). Mereka juga mensyaratkan kebersihan hati dari penyakit kibr,
hawa nafsu, bid’ah, cinta dunia dan senang melakukan dosa. Ini semua adalah
yang menghalangi hatinya untuk mencapai pengetahuan yang benar yang diturunkan
oleh Allah SWT.
Tafsir Dirayah ini ada
dua macam;
1 Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz ( Mahmud)
2 Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz
(Mazmum)
Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz ( Mahmud) yaitu apabila
penasfsirannya itu sesuai kaidah yang ada jauh dari segala kebodohan dan
kesesatan maka tafsir ini Mahmud,tapi jika sebaliknya tidak sesuai
dengan kaidah mendekati kebodohan dan kesesatan ,maka disebut Tafsir Bi Al Ra’yi Al – Jaiz (Mazmum)
C. Pendapat Ulama’ Tentang Tafsir
Ad-dirayah.
Meskipun tafsir bi-al-ra’yu berkembang dengan pesat, namun
dalam menerimanya para ulama terbagi menjadi dua : ada yang membolehkan dan ada
pula yang mengharamkannya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat ini
hanyalah bertentangan dari segi lafzhi saja (Redaksional). Maksdunya kedua
pihak sama-sama mencela penafsiran yang berdasarkan ra’yu (pemikiran) semata
(hawa nafsu) tanpa memandang / mengindahkan kaidaj-kaidah dan kriteria-kriteria
yang berlaku. Penafsiran inilah yang di haramkan oleh Ibnu Taimiyyah. Sebaliknya,
keduanya sepakat membolehkan penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad berdasarkan
Al-Qur’an dan sunnah Rasul serta kaidah-kaidah yang mu’tabarat.
Adapun hadist-hadist yang menyatakan bahwa para ulama salaf
lebih suka diam daripada menafsirkan Al-Qur’an, sebagaimana ditulis Ibn
Taymiyyat : “Mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan
mereka diam pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap
orang (lanjutnya), ia harus diam kalau tidak tahu, dan sebaliknya harus
menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya. Pendapat Ibn Taymiyyat ini ada benarnya karena
didukung oleh Al-Qur’an antara lain terdapat di dalam surat Ali ‘Imran :
لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ
وَلاَتَكْتُمُونَهُ {
ســـــورة
ءال عمران : 187}
(Hendaklah kamu menerangkan isi
kitab itu kepada menusia dan tidak menyembunyikannya)
Dan dipertegas lagi oleh hadist yang shahih dari Ibn ‘umar :
مَنْ
سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ بِلِجَامِ مِنَ
النَّارِ.
Barang siapa ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu
ia diam, maka ia akan dikekang pada hari kiamat dengan kekang api neraka.
Jadi diamnya ulama salaf dari penafsiran suatu ayat bukan
karena tidk mau menafsirkan dan bukan pula karena dilarang menafsirkan,
melainkan karena kesanghati-hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang
disebut dengan takhmin (perkiraan, spekulasi) dalam menafsirkan Al-Qur’an
apabila ini terjadi, ancamannya amat berat : masuk neraka, sebagaimana yang
dimaksud oleh hadist riwayat al-Tirmidzi.
Untuk menghindar terjadinya spekulasi dalam penafsiran, maka
para ulama tafsir menetapkan sejumlah kaidah dan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh seorang mufasir serta metode penafsiran yang harus dikuasinya.
Secara gamblang metodelogi penafsiran adalah
Jadi jelaslah, secara garis besar perkembangan tafsir sejak
dulu sampai sekarang adalah melalui dua jalur, yaitu al-ma’tsur (melalui
riwayat) dan al-ra’yu (melalui pemikiran atau ijtihad). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa ma’tsur dan ra’yi
merupakan bentuk atau jenis tafsir, bukan metode atau corak tafsir.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian
makalah diatas, ada beberapa kesimpulan yang dapat kami ambil yaitu:
- Tafsir adalah
menjelaskan Al-Quran, menerangkan ma’nanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki
nash isyarat atau tujuannya.
-
Tafsir Bil
dirayah yang juga disebut tafsir bir ra’yi ialah tafsir yang pemahaman terhadap
ayat-ayat Al-Quran melalui ijtihad dengan menggunakan akal pikiran.
B. Daftar Pustaka
1. Drs. Rif’at Syouqi Nawawi dan Drs.
M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta 1985
2. Drs. Rosihon
Anwar, M.Ag, Ilmu Tafsir, Bandung,
Pustaka Setia, 2000,
3. T.M. hasby Ash Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Quran dan
tafsir, Jogjakarta 1953
Tidak ada komentar:
Posting Komentar